Jumat, 15 Juni 2012

Tradisi Melayu Aqiqah


TRADISI MELAYU

AQIQAH

                             Gambar. Seorang bayi sedang dipegang saat di akikah.

Pekanbaru-(Marlisa), Beberapa waktu yang lalu tradisi adat-istiadat Masyarakat Melayu Riau pada umumnya, Pekanbaru khususnya, setiap kegiatan upacara hukum syarak selalu diikuti oleh ritual budaya yang bersifat religius, antara lain; berakikah, khatam Alquran, khitan, akad nikah, naik haji maupun pulang haji serta perayaan hari-hari besar Islam lainnya. Dalam kegiatan tersebut masyarakat Melayu Riau selalu menyertakan dengan berbagai pergelaran tata cara adat-istiadat budaya yang bersifat religius seperti; berkesenian berzanji, marhaban, tepuk tepung tawar, berzikir, berkompang, berebana, bebano, gendang ogung dan lain-lainnya. Namun apa pun kegiatan hukum syarak yang merupakan syariat hukum Islam selalu diikuti dengan berbagai macam ritual yang mengikuti hukum syarak tersebut. Oleh karena itulah budaya Melayu dikatakan identik dengan Islam; Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah. Petuah Melayu ada mengatakan Mati Berkandung dengan Iman, Hidup Berkandung dengan Adat. Akikah itu sendiri adalah kewajiban yang dianjurkan oleh hukum syariat Islam, waktu dan pelaksanaannya merujuk kepada sumber hukum Islam yaitu Alquran dan sunah rasul. Sedangkan pada upacara naik buai atau mengayunkan anak atau turun mandi dan turun tanah, menurut adat selalu dilaksanakan selepas habis masa idah empat puluh hari ditambah dengan mandi emapt puluh hari. Barulah orang biasanya melaksanakan adat itu. Penjelasan panjang-lebar tentang ritual adat-istiadat budaya Melayu yang lazim dilaksanakan pada upacara berakikah mengikut aturan adat-istiadat, biasanya disusun dengan tata cara atau senarai.
Pertama, kata sambutan dari protokol. Kata sambutan biasanya ditunjuk seorang protokol untuk memberi penjelasan susunan acara (senarai) sebagai pedoman di dalam pelaksanaan hajatan akikah (hukum syariat) sekaligus penjelasan tentang adat yang mengikut didalam akikah tersebut.
Kedua, pembacaan kalam Illahi. Pembacaan kalam Illahi, selalu dilakukan orang agar segala apa yang dihajatkan mendapat rahmat dan hidayah dari Allah SWT.
Ketiga, kata sambutan dari tuan rumah. Menurut ungkapan pepatah adat mengatakan, Hati Gajah Sama di Lapah, Hati Semut Sama di Cecah atau Berat Sama di Pikul Ringan Sama Dijinjing. Hal ini mengandung filsafat yang bermakna yang sangat dalam sekali yang mengandung nilai-nilai asas gotong-royong, silaturrahmi, kekerabatan dan sebagainya. Oleh karena itulah orang tua si anak yang berakikah menurut kebiasaan adat tidak pernah sama sekali memberikan kata sambutan kecuali oleh pelapis dada (bapak saudara atau ibu saudara ataupun pihak lain yang patut ditunjuk menurut adat istiadat).
Keempat, doa akikah. Pada dasarnya, penyebutan nama anak yang akan diakikah sudah dilafazkan pada saat dilakukannya penyembelihan hewan akikah, namun dikarenakan adanya kenduri atau perhelatan jemputan orang banyak, penyebutan nama anak dilakukan pada saat doa akikah oleh buya atau ustadz di hadapan sekalian jemputan yang hadir.
Kelima, membaca berzanji. Selepas upacara pengukuhan nama di dalam doa akikah dilanjutkan dengan berkesenian berzanji.
Keenam, marhabban. Sewaktu prosesi doa akikah akan dimulai ibu bapak dan anak yang berkikah sudah didudukan di tengah-tengah jemputan atau di tempat yang sudah ditentukan menurut yang patut atau yang semestinya. Sewaktu prosesi marhabban dimulai, menurut adat orang Melayu Riau sekalian yang hadir dapat berdiri untuk melaksanakan kegiatan tepuk tepung tawar dengan terlebih dahulu si anak diberi beralaskan tujuh lapis kain tenunan Siak atau menurut selera yang punya hajat. Adapun kain tenun Siak yang berlapis-lapis tersebut adalah bawaan persiapan sewaktu ibu akan melahirkan untuk mempersiapkan tempat tidur si bayi (anak). Ada juga menurut budaya tempatan di bawah kain tenun Siak diletakkan orang beras, kacip atau gunting dan sumpit tangkal.
Ketujuh, tepuk tepung tawar sekaligus cukur rambut. Tepung tepung tawar dilakukan lazimnya berdiri, ibu bapak dan anak digendong boleh bapak atau ibu yang menggendong dan dilaksanakan upacara bertepuk tepung tawar sekaligus bercukur rambut yang dilakukan sebanyak hitungan ganjil orang yang menepuk tepung tawar. Sedangkan guntingan rambut dimasukkan ke dalam kelapa puyuh atau kelapa gading yang sudah diukir menurut selera dengan tetap memakai motif bintang lima untuk penutup kelapa sekaligus ada juga yang dihiasi dengan emas perhiasan antara lain seperti rantai yang bermainkan rupiah, kemudian dibilas dengan boa tepuk tepung tawar.
Kedelapan, naik buai. Naik buai ini ibu bapak boleh mengayunkan anak perlahan-lahan, namun tidak pernah dibuat oleh adat adanya prolog baik oleh ibu maupun oleh bapak sewaktu prosesi ayunan berlangsung akan melantunkan nyanyian-nyanyian ayun anak. Oleh karena itulah orang Melayu mengatakan Tuntutlah Ilmu Mulai dari Ayunan hingga ke Liang Lahat.
Keseluruhan tata cara di atas mengandung nilai-nilai filsafat yang sangat tinggi dan mendalam yang tergambar di dalam prosesi adat istiadat berakikah yang mengandung nilai puji syukur terhadap Yang Maha Kuasa, asas gotong-royong dan silaturrahmi kaum kerabat, rukun tetangga handai taulan dan sebagainya. Apabila prosesi tata cara adat istiadat berakikah ini dilaksanakan tidak menurut aturan nenek moyang turun-temurun, bak pepatah Melayu ada mengatakan Adat Tak Lapuk Karena Hujan, tidak karena panas, tentulah bergeser pula nilai-nilai dan makna filsafat yang terkandung di dalam adat-istiadat berakikah tersebut.
Namun dapat juga dilaksanakan tidak menurut tata cara adat istiadat yang sudah bergulir dari dulu hingga sekarang akan tetapi tentulah iyanya merupakan aturan yang bersifat pribadi atau kepintaran dan kepentingan sepihak, namun tentulah tidak mengatasnamakan prosesi adat istiadat Melayu Riau umumnya Pekanbaru khususnya. Soalnya, adat-istiadat bukanlah diciptakan atas keinginan pribadi, namun tumbuh berkembang sejalan dengan kebersamaan masyarakat Melayu tersebut. Di sinilah tugas kita untuk menggali dan membangkitkan batang terendam dengan tidak menciptakan adat yang baru atau mengambil alih nilai-nilai adat budaya luar dari masyarakat Melayu Riau itu sendiri karena dapat menghilangkan makna filsafat dan jati diri masyarakat Melayu Riau(Marlisa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar